Selasa, 01 April 2014

Bahagianya Dekat Ulama Besar

Siapa tak kenal ulama besar Yusuf Qardhawi? Ulama Timur Tengah terkemuka saat ini yang tulisan dan buku-bukunya banyak dibaca umat Islam hampir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Kenal dan bahkan bisa berdekatan dengan ulama besar seperti dia, tentu sebuah kebahagiaan tiada tara. Arsil Ibrahim MA, Kepala SMA International Islamic Boarding School (IIBS), Cikarang, Jawa Barat, memiliki hubungan istimewa dengan ulama kenamaan tersebut. Bukan sekadar menerjemahkan tulisan dan buku-buku Yusuf Qardhawi, Arsil pun sempat beberapa lama melayani ulama kharismatik ini ketika berkunjung ke Malaysia selama beberapa tahun. ”Yang menarik, meskipun dikenal sebagai ulama besar, tapi justru dia lebih tahu kehidupan modern ketimbang saya,” papar Arsil kepada Republika belum lama ini. 

Suatu kali, Yusuf Qardhawi meminta Arsil menghidupkan lampu di kamar hotel bintang lima tempat ia menginap di Kuala Lumpur. Arsil bersusah payah mencari sakelar, namun tak menemukannya. Melihat itu, Yusuf Qardhawi tiba-tiba bertepuk tangan dan byar, lampu pun menyala. Sambil menebar senyum Qardhawi berkata, ”Hakaza nata’allamu minal hayati (beginilah kita belajar dari kehidupan, red),” ujar Arsil menirukan kata-kata Qardhawi. 

Bagaimana awal mula pria kelahiran Jambi 20 Oktober 1967 ini berkenalan dengan Qardhawi? Arsil mengatakan itu berawal ketika ia belajar di Internasional Islamic University of Islamabad, Pakistan. ”Kami banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh besar, seperti Dr Abdullah Azzam dan Dr Yusuf Qardhawi,” tuturnya. ”Qardhawi sering mengisi training di Islamabad dan saya sering ikut training itu. Bahkan Hasan Thurobi dari Sudan, turut datang melatih dan menyiapkan kader-kader yang hebat,” ujar putra pasangan H Azra Ibrahim dan Khaerunnisa.

Ketika itu, papar Arsil, Pakistan menjadi sebuah kancah politik internasional. Perjuangan Islam sangat terasa kental. Tokoh-tokoh dari seluruh dunia datang ke sana bukan hanya untuk membantu perjuangan, tapi juga untuk menimba sesuatu dari pejuangan itu bagi dirinya sendiri. ”Saya senang sekali hidup di sana dan warna baru dalam kehidupan saya mulai terasa. Yusuf Qardhawi adalah idola saya dari dulu,” tandas alumnus Pesantren Darunnajah tahun 1986. 

Kedekatan Arsil dengan Qardhawi kian terasa ketika ia bekerja di sebuah penerbitan di Malaysia yang menerjemahkan buku-buku Yusuf Qardhawi. Terlebih, Arsil sering berkomunikasi dengan Qardhawi sewaktu ulama itu berkunjung ke Malaysia. ”Ada sembilan karya terbesar Qardhawi dan lima karya Syekh Muhammad Al-Ghazali yang saya terjemahkan selama tiga tahun bekerja di Malaysia.” Ia pun mengaku meluangkan waktu delapan jam dalam sehari untuk menerjemahkan buku-buku Qardhawi tersebut. 

Bagaimana Arsil bisa menikmati pekerjaan itu? Bagi Arsil menerjemahkan buku-buku Yusuf Qardhawi diibaratkan sama enaknya dengan makan kacang goreng. Mengingat bahasanya yang indah, pengetahuan penulisnya yang padat, dan wawasannya yang luas sekali. ”Setiap ayat, setiap kalimat merupakan masukan baru. Tidak ada yang merupakan ilmu lama. Saya merasakan kemantapan ilmu saya ketika banyak menerjemahkan buku Yusuf Qardhawi,” paparnya. ”Waktu saya kenal Qardhawi, beliau berumur 73 tahun, sekarang sekitar 83 tahun lebih.” 

Di mata kawan-kawan dan pembacanya, membaca buku terjemahan Arsil dinilainya sama seperti membaca karya aslinya. Antara satu judul dengan judul yang lain tetap nyambung, sinergi, dan relevan. Boleh jadi, kata Arsil, ini karena diterjemahkan oleh satu orang. Bukan seperti satu buku yang diterjemahkan oleh lima sampai enam orang, sehinga kadang-kadang antara satu judul dengan judul lain tak nyambung bahasanya. ”Terlebih jika penerjemahnya tidak menikmati sehingga yang membacanya pun tak dapat menikmati,” urai Arsil yang mengetahui keluasan ilmu dan kemoderatan Qardhawi dari karya-karya dan perilakunya.

Keberhasilan Arsil menerjemahkan karya-karya ulama besar itu agaknya cukup membuat bangga. Pasalnya, berkat buku-buku terjemahan itu ia mengaku bisa berkenalan dengan Datuk Anwar Ibrahim, orang kedua di Malaysia kala itu. Dari perkenalan itulah Anwar bersedia memberi izin tinggal bagi Arsil dan keluarga, meski kesempatan itu sudah ditutup. ”Sangat sulit bagi siapa pun untuk mendapatkannya. Tapi, karena yang memberi Anwar Ibrahim, saya pun bisa meraihnya. Hanya dalam waktu dua minggu izin tinggal saya pun keluar, itu terjadi tahun 1997. Izin tinggal itu untuk selama-lamanya, tanpa visa, tanpa surat kerja, dan pasport,” kata Arsil mengisahkan.

http://www.republika.co.id/

Tidak ada komentar:

Akar Kata [Mujarad] Dalam Bahasa Arab

Umumnya atau mayoritas akar kata dalam bahasa Arab terdiri dari 3 huruf  biasanya berharakat fathah.  Akar kata bahasa Arab ini biasanya  ad...