Kamis, 22 September 2011

Tips Merapikan Posting pada Blog

Merapikan posting?? Perlu juga lho… Karena dengan postingan yang rapi akan semakin menarik pengunjung untuk membaca artikel yang kita posting tersebut… Sebaliknya bila artikel yang kita posting tersebut tidak rapi, orang akan malas untuk membaca artikel tersebut.

Mungkin sebenarnya sudah banyak yang mengetahui tentang cara merapikan posting berikut. Tapi mungkin juga ada yang masih belum mengetahuinya. Dan tulisan tentang merapikan posting berikut hanyalah sekedar sharing tentang apa yang ana ketahui karena ana sendiri sebenarnya tidak ahli dalam hal ini. Mudah-mudahan tulisan ini bisa bermanfaat untuk merapikan blog ikhwan wa akhwat fillah terutama yang menggunakan wordpress.

Merapikan Posting

1. Paste Tulisan dari Word

Kadang ketika kita mem-paste tulisan yang sudah diedit di Word, ternyata setelah tampil hasilnya jadi berantakan. Cara supaya hasil yang di-paste tidak berantakan adalah dengan paste melalui tombol “paste from word” (berlogo W) seperti pada gambar berikut :

Tekan tombolnya, lalu paste seluruh isi artikel dalam form yang tersedia :

Tekan insert dan tulisan pun akan ter-paste sesuai dengan format tulisan sesuai CSS theme-nya.

Sebuah theme biasanya sudah memiliki CSS nya masing-masing yang dianggap bagus dan matching oleh si pembuat theme yang akan menjadi format standard untuk jenis, ukuran, warna tulisan, tata letak theme, dll. Untuk blog di wordpress.com gratisan CSS sampai saat ini belum bisa diedit karena kebijakan dari wordpress.com, tapi untuk yang menggunakan self-hosting (gratisan ataupun berbayar) CSS tersebut bisa diedit. Tapi ana tidak akan membahas masalah CSS ini, yang akan ana bahas adalah memposting tulisan agar sesuai dengan CSS tersebut sehingga tampilannya mudah-mudahan akan lebih rapi dan tulisannya jadi seragam antara posting yg satu dgn yg lainnya.

2. Potong tulisan yg panjang di halaman utama

Gunakan tag <–more–> untuk memotong tulisan yang panjang sehingga yang ditampilkan di halaman utamanya (home/beranda) cukup beberapa bagian awalnya saja. Caranya tempatkan cursor di bagian yang akan dipotong, lalu klik tombol <–more–> :

Di blog ini tag dipasang supaya tulisan tidak melebihi ukuran layar, supaya kelihatan lebih teratur dan memudahkan srcoll-down untuk melihat artikel lainnya. Hasilnya seperti ini:

3. Cara Merapikan Tulisan Arab

Hasil copy-paste tulisan Arab biasanya hasilnya akan seperti :

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ

Cara merapikannya adalah buka kode HTML nya dengan klik tab berikut :

lalu cari tulisan arab yang mau di edit, kemudian tuliskan kode berikut sebelum tulisan Arab itu :

Sehingga menjadi :

Hasil visualnya:

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ

Ukuran, spasi & jenis font yang ana beri warna merah bisa diubah pada sesuai yang antum mau.

Untuk tulisan yang lebih besar bisa pake kode berikut :

Hasilnya :

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لاَ يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتَّى يُغْنِيَهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ

Jika tulisan Arab lebih dari satu paragraph, lebih baik pake kode ini:

Jangan lupa untuk menutup div nya dengan

.

4. Menampilkan Gambar

Setelah merapikan tulisan, ada baiknya jika kita menghiasnya dengan memasukkan gambar supaya tulisan tersebut lebih menarik untuk dibaca. Bagian ini kelihatannya sudah banyak yang tau, jadi singkat saja… Pilih & Upload gambar dengan klik tombol :

Lalu pilih & upload gambar :

Selanjutnya lakukan edit / update alignment, border & space. Dan jadilah hasilnya :

5. Cara Membuat Footnote

Jika dalam tulisan ada footnotenya, maka bisa menggunakan kode ANCHORNAME berikut ini dalam kode HTML nya:

Ubah kata-kata nomor footnote pada kode di atas dengan angka atau nama sesuka antum. Letakkan kode di atas di bagian footnote (bawah). Misalnya footnote nomor 1 :

Dan jika sukses biasanya di mode visualnya akan terlihat gambar jangkar di kiri footnote tersebut. Untuk nomor footnote di bagian isi artikelnya bisa menggunakan link artikel ditambah /#nomor footnote, contoh :

http://ummushilah.0fees.net/wordpress/?p=451/#1

Penerapannya seperti ini :

Kalau mau dibuat supaya nomor di footnote jika di klik bisa balik ke tempat semula, bisa dgn cara menambahkan anchor-nya di nomor footnote dalam artikel dan menambah link ke situ di footnotenya. Njelimet ya?

Begini contohnya : Kita buat nama anchor untuk nomor footnote di dalam artikel, misalnya h1, dan tambahkan juga link untuk menuju ke footnote yang kita beri nama f1. Ini kodenya :

Dan kode untuk nomor footnote kita beri nama f1 dan me-link ke h1 :

Kalau sukses biasanya di mode visualnya ada tanda jangkarnya.

Silahkan mencoba…. Contoh artikel yang sudah jadi bisa dilihat di link : http://ummushilah.0fees.net/wordpress/?p=451

bagi yang menggunakan mesin wordpress di hosting sendiri, cara yg lebih praktis bisa menggunakan plugin wp-footnote. Dan cara memakainya bisa di baca di [link ini].

Demikian sedikit yang bisa ana share, semoga bermanfa’at…. Seandainya ada yg tau cara yg lebih praktis, monggoh di share…


Copas dari: http://ummushofi.wordpress.com/2009/12/23/tips-merapikan-posting-pada-blog-wordpress/

Selasa, 20 September 2011

Wahai Saudari Muslimahku...

Buatku muslimah ya muslimah, tidak bisa dicampur dengan atribut ini dan itu tapi tetap mengaku muslimah. Hadeeh... keras kepala sekali aku ini.

Coba jawab, kalau aku tanyakan padamu kawan, siapa sich muslimah itu? bisa kah kau sebutkan cirinya??

Jawaban pribadiku, muslimah adalah wanita sholehah atau sedang belajar untuk menjadi sholehah yang berpakaian sopan, panjang, tidak ketat melekat lekuk tubuh dan berkerudung atau jilbab. Bicaranya halus, lembut dan menjaga pandangan.

What yours?

Pandanganku aku sandarkan padaMu ya Allah, sehingga mungkin karena ini pula Engkau tuangkan keresahan yang sangat dalam jiwa hamba akan ketidak sesuaian tampilan saudari-saudari muslimahku saat ini dengan jawabanku di atas. Aku galau, aku seddiih... saudari-saudari muslimahku berpakaian tapi seperti telanjang. MasyaAllah.... tidakkah mereka takut azabMu ya Robb, tidakkah mereka sadar bahwa mereka sedang menjerumuskan diri mereka sendiri kepada kemurkaanMu. Apa dayaku ya Robbii...

Hati ini semakin sakit saat kulihat saudari muslimahku berdandan rapih, berpakaian muslimah dengan kerudung yang cantik, tapi mengenakan bawahan legging -celana panjang sangat ketaaaat sekali di kaki-kaki mereka, yang seharusnya celana panjang ini digunakan sebagai pakaian dalam, Allahu akbar.

Ya Allah, upaya hamba untuk menjadi muslimah yang baik pun belum sesempurna yang Engkau harapkan, namun tetapkanlah penjagaanMu atas upayaku ini dunia akhirat. Pilihlah hamba sebagai salah satu umat Muhammad yang terbaik, jauhkan hamba dari mengikuti nafsu dunia yang menimpa saudari-saudariku saat ini. Amin.

Tuhan

*Akmal Sjafril ST, MPdI

Sep 13, '11 12:21 PM

assalaamu'alaikum wr. wb.

Ketika menjelaskan tentang bukti-bukti keberadaan Tuhan, Buya Hamka tidak
merasa perlu berpanjang-panjang dalam penjelasannya, padahal beliau dikenal
sebagai ulama-sastrawan yang piawai merangkai kata. Menurutnya, keberadaan
Tuhan itu terlalu mudah untuk dipahami oleh manusia, siapa pun dia, sehingga
tak perlu dibuktikan kembali. Apa yang sudah terang tak perlu
diterang-terangkan lagi. Pengakuan akan keberadaan Tuhan adalah suatu hal
yang sudah terintegrasi dalam jiwa manusia. Yang jadi masalah justru jika
manusia ngotot hendak meng-uninstall program yang sudah dipasang sejak
dahulu kala dalam dirinya (QS Al A’raf: 172).

Dari sekian banyak manusia keras kepala yang mengingkari dirinya sendiri
ini, tidak ada satu pun yang berhasil sepenuhnya. Ustadz Rahmat Abdullah
rahimahullaah pernah menceritakan tentang seorang mahasiswa yang sepenuh
hatinya merasa bangga dengan ateisme yang dijadikannya sebagai prinsip
hidup. Tuhan itu tak berwujud, katanya. Tuhan itu hanya ada dalam khayal
manusia, katanya. Tapi dalam sebuah demonstrasi menuntut reformasi, ketika
peluru berdesingan di atas kepalanya, ia tiarap juga sambil berteriak, “Ya
Tuhan!” Ternyata pengakuan terhadap Tuhan belum berhasil ia buang dalam
recycle bin hatinya.

Pada akhirnya, kematian adalah pembuktian yang paling nyata. Biarpun sudah
menolak Tuhan dengan berapi-api dan mengklaim bahwa hidupnya adalah miliknya
sendiri, toh akhirnya semua manusia menemui ajal juga. Suka tidak suka,
semua akan mengalaminya. Boleh seenaknya di dunia, tapi akhirnya diseret
juga ke akhirat.

Pasti ada juga yang menolak argumen ini. Kematian hanya membuktikan bahwa
masa hidup manusia telah habis. Tak ada bukti jiwa manusia pergi ke suatu
alam yang lain dengan alam dunia ini. Tak ada bukti bahwa Tuhan itu ada.
Setelah hidup hanya ada kematian, dan di seberang kematian hanya ada
ketiadaan.

Penyangkalan (denial) semacam ini tidaklah melukai siapa pun selain dirinya
sendiri. Berusaha meng-uninstall program yang menjadi pondasi dari jiwa kita
ibarat tanaman yang mencabut akarnya sendiri. Tak bisa membuang programnya,
maka jiwanya sendirilah yang dicampakkan.

Tidak seorang pun manusia yang sungguh-sungguh percaya bahwa Tuhan itu tidak
ada. Tidak Nietzsche (“God is dead”), tidak Karl Marx (“Religion is opium
for the people”), tidak juga Fir’aun (“Aku tidak mengetahui tuhan bagimu
selain aku.”). Ketika ombak hampir menelan tubuhnya, Fir’aun pada akhirnya
dipaksa mengaku juga bahwa ia hanyalah tulang, darah, daging, kulit, dan
rambut. Sayangnya, penyesalan selalu datang terlambat. Meski sudah ke
mana-mana mendakwakan bahwa Tuhan telah mati, pada akhirnya Nietzsche juga
yang mati. Marx, yang punya ‘misi suci’ membebaskan umat manusia dari
‘opium’ yang membelenggu hidup mereka, pada akhirnya mati juga, sementara
mereka yang beriman tetap saja beriman. Merekalah contoh manusia yang gagal
menulis ulang program dirinya, karena sejak awal mereka memang tidak
mengenal kode program yang sesuai.

Tidak ada seorang manusia pun yang sungguh-sungguh beriman akan ketiadaan.
Pada hakikatnya semua manusia diciptakan dengan ego yang pasti akan menolak
klaim bahwa dirinya tidak lebih daripada seekor hewan yang hidup tanpa
tujuan pasti selain makan, berkembang biak dan bertahan hidup. Tak ada juga
manusia yang mau menyamakan dirinya dengan benda mati yang tercipta dan
hancur tanpa konsekuensi bagi dirinya sendiri. Kematianlah yang memberi
makna pada kehidupan, dan kehidupan sesudah matilah yang memberi makna pada
kematian.

Mereka yang percaya bahwa kematian itu ada, tapi kehidupan sesudah mati itu
tidak ada, akan menjalani kehidupan dengan cara yang berbeda dengan kaum
yang beriman. Jika kehidupan di dunia ini adalah satu-satunya yang mereka
miliki, amboi betapa kacaunya dunia ini. Tak ada kebaikan, tak ada kemurahan
hati, tak ada yang saling menolong, tak ada yang saling mendahulukan, dan
tak ada yang saling mencintai. Semua orang hidup untuk dirinya
sendiri-sendiri, memenuhi syahwat perut dan kelaminnya. Mereka memandang
orang lain sebagai alat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri; jika tak lagi
berguna, maka siapa pun bisa disingkirkan. Demikianlah peradaban manusia
yang ‘tanpa tuhan’.

Dalam peradaban paling biadab sekalipun, iman kepada Tuhan dan kehidupan
akhirat masih tetap ada. Itulah yang menjaga manusia dari perilaku keji dan
haus darah. Jika Allah subhanahu wa ta’ala tidak meng-install program yang
terkoneksi langsung dengan-Nya dalam diri kita (dan juga menciptakan program
lain yang mencegah siapa pun untuk meng-uninstall-nya), maka manusia sudah
sejak dulu punah karena saling bunuh. Sementara binatang yang hanya punya
syahwat tanpa akal saja jika terjepit bisa menjadi kanibal, apalagi manusia
yang bukan hanya punya syahwat, tapi juga punya akal. Hewan buas yang
kanibal hanya akan memangsa sesuai kapasitas lambungnya, sementara manusia
yang ‘kanibal’ akan menciptakan kulkas untuk menyimpan korban-korbannya
dalam jumlah banyak dan museum untuk memamerkan tulang-belulangnya.

Benarlah apa yang dikatakan oleh Buya Hamka. Beriman kepada Allah itu adalah
hal yang terlalu terang untuk diterang-terangkan. Justru penolakan
terhadap-Nya itulah yang begitu rumit untuk dijelaskan. Itulah sebabnya
mereka yang keras kepala menolak Allah disebut “kafir” yang artinya
“ingkar”. Mereka tak dapat mengubah kenyataan, melainkan hanya
mengingkarinya saja.

wassalaamu'alaikum wr. wb.

Artikel ini telah dimuat di situs Fimadani http://www.fimadani.com/tuhan/.

Ghirah menurut Buya HAMKA

*Ghirah*

*Akmal Sjafril*

assalaamu'alaikum wr. wb.

Dahulu, Buya Hamka menjelaskan ghirah dengan suatu istilah yang sederhana:
cemburu. Ghirah adalah kecemburuan dalam beragama. Cemburu itu bukan sekedar
marah atau kesal atau jengkel, melainkan perasaan tidak rela karena haknya
direnggut dan berhasrat besar untuk merebut haknya kembali. Kalau tak ingin
merebut kembali, bukan cemburu namanya. Itulah sebabnya orang bilang cemburu
adalah tanda cinta, dan tidak ada cinta tanpa rasa cemburu. Nah, yang
disebut ghirah itulah perasaan memiliki / mencintai agama secara mendalam
yang kemudian terwujud dalam pembelaan yang kuat ketika agamanya dihinakan
orang.

Buya Hamka mengambil sebuah perspektif yang menarik ketika bercerita tentang
ghirah. Sementara pada masanya orang banyak mengelu-elukan Mahatma Gandhi,
beliau justru mengingatkan semua orang bahwa Gandhi adalah tokoh yang anti
Islam, dan kita sebagai Muslim tidak sepatutnya melupakan hal itu.

Dalam tulisan-tulisan atau ucapan-ucapannya, Gandhi senantiasa menampilkan
sosok yang bersahaja, santun dan toleran, bahkan kontradiktif dalam beberapa
hal. Sebagai contoh, ia mengatakan bahwa ia menghormati semua agama
sebagaimana agamanya sendiri, walaupun ia merasa bahwa agamanyalah yang
paling tinggi. Di tempat lain, ia mengatakan bahwa di atas agama-agama ada
pula ‘Agama’ (dengan ‘A’ besar) yang mengatasi semua agama itu, yang
bersemayam di hati seluruh manusia, apa pun agama formalnya. Kali lain, ia
berkata pula bahwa semua agama itu benar, dan semua agama itu juga salah.

Kontradiksi Gandhi dalam menyikapi agama-agama diberi catatan tersendiri
oleh Hamka. Di satu sisi, Gandhi selalu mengatakan bahwa semua agama
sama-sama mulia, sama-sama mengajarkan kebaikan, sama-sama mengantar kita ke
surga. Namun ketika orang-orang dekatnya memutuskan untuk memeluk agama
Islam, ia melakukan suatu hal yang dikenal luas sebagai ciri khasnya
sendiri: mogok makan! Sayangnya, sebagian dari orang-orang terdekatnya itu
tidak tega dan akhirnya kembali ke agama asalnya.

Meskipun muncul dalam sebuah prilaku yang hipokrit dari pribadi seorang
Gandhi, ghirah adalah suatu hal yang fitrah. Cemburu memang fitrah; semua
manusia merasakannya. Anak kecil pun akan menangis jika mainannya direnggut
paksa. Orang dewasa apalagi, karena mereka sudah menyelami seluk-beluk cinta
dalam hatinya sendiri.

Catatan lain yang diberikan oleh Buya Hamka seputar ghirah adalah betapa
ghirah ini menjadi suatu hal yang paling menakutkan bagi kaum penjajah
dahulu. Mereka terheran-heran menyaksikan bangsa yang cuma punya rencong
atau keris di tangan namun bisa tampil begitu gagah di hadapan bedil yang
terkokang hanya karena satu kalimat takbir. Mereka tidak habis pikir mengapa
masih ada saja bangsa yang siap mati bersimbah darah membela agamanya,
karena agama memang sudah sejak lama mati di Eropa.

Jangankan soal agama, soal perempuan saja umat Islam itu begitu besar rasa
cemburunya. Pernah ada seorang perempuan yang diam-diam dipacari oleh lawan
jenisnya. Pada masa itu, berpacaran dengan perempuan, apalagi backstreet,
adalah penghinaan yang serius terhadap keluarganya. Kakak lelakinya pun
bertindak membela kehormatan keluarga. Ditikamlah lelaki tak berbudi tadi,
matilah dia.

Sudah barang tentu, hukum sekuler yang diterapkan oleh pemerintah kolonial
Belanda pada masa itu mengharuskan sang kakak lelaki menjalani
bertahun-tahun hukuman di penjara. Dalam logika kaum sekuler, habislah sudah
keluarga itu; anak perempuannya terhina, anak lelakinya dipenjara. Apa
dinyana, setelah belasan tahun dipenjara, ia malah dijemput oleh seluruh
keluarga dan sanak saudaranya layaknya rombongan yang mengantar jemaah pergi
berhaji. Shalawat dialunkan, tangis haru berderai, ia disambut bagai
pahlawan. Tidak peduli apa kata Belanda; di mata keluarganya, sang pemuda
adalah pembela kehormatan mereka.

Menghadapi bangsa yang ghirah-nya menyala hebat adalah persoalan yang runyam
buat Belanda. Ingat Bandung Lautan Api? Banyak orang hanya ingat lagunya,
namun kurang menghayati sedahsyat apa kejadian itu sebenarnya. Bukan 1-2
bangunan dibakar, melainkan hampir seisi kota. Jika Bandung dibakar sebagai
bagian dari teror penjajah terhadap rakyat, maka akal kita masih bisa
mencernanya dengan mudah. Namun sebenarnya kota itu justru dibakar oleh
warganya sendiri. Apa sebab? Karena lebih baik dibumihanguskan daripada
dinikmati tuan-tuan penjajah!

Betapa runyam urusan kaum Zionis di tanah Palestina, lantaran putri-putri
Al-Quds memiliki ghirah yang sangat tinggi. Lebih baik mati semua daripada
Masjidil Aqsha dinistakan. Lebih baik suami pulang menjadi mayat daripada
harus mengalah pada bangsa penjahat. Ada ibu yang dikaruniai keturunan yang
banyak, namun satu persatu menjemput syahid, dan itulah hal yang membuatnya
tetap hidup dengan kepala tegak penuh kebanggaan; rahimnya telah melahirkan
para penghuni surga!

Sebagai bagian dari strategi penjajahan, umat Islam di mana-mana ditekan
agar tidak pernah mengobarkan ghirah-nya lagi. Jangan pernah marah lagi jika
agamanya dihina. Jangan pernah cemburu lagi jika kehormatannya direnggut.
Karikatur Rasulullah saw dibuat dengan nuansa penghinaan yang begitu kental,
dan kita tidak boleh marah. Jika Yesus saja sudah dijadikan komoditi humor,
mengapa Muhammad saw tidak boleh? Mereka mengharapkan umat Islam akan
kehilangan ghirah sebagaimana mereka telah kehilangan ghirah-nya
berabad-abad yang lampau. Mereka ingin umat Islam tidak lagi cinta pada
agamanya sendiri, sebagaimana mereka sendiri telah mencampakkan rasa cinta
pada agamanya entah berapa abad yang lalu.

wassalaamu'alaikum wr. wb.

Artikel ini telah dimuat di situs Fimadani, http://www.fimadani.com/ghirah.

Akar Kata [Mujarad] Dalam Bahasa Arab

Umumnya atau mayoritas akar kata dalam bahasa Arab terdiri dari 3 huruf  biasanya berharakat fathah.  Akar kata bahasa Arab ini biasanya  ad...